Friday, January 20, 2006

Kadang-kadang aku mikir...Kenapa ya aku seringkali nggak bersyukur atas apa yang aku punya. Selalu ada komplain, selalu ada sungut, selalu ada gerutu. Nggak pernah sekalipun aku menerima keadaan tanpa pertanyaaan, tanpa perasaan, "yaaa...kok cuma ini ya?". Selalu sulit menghindari kebiasaan menawar takdir. Selalu ada stok 'kekurangan' di hatiku.

Aku selalu merasa, tidak bersyukur itu tindakan yang manusiawi. Semua orang juga begitu, pikirku. Makanya ada jargon, 'sudah hati, empedu pula'. Jadi aku santai saja membiarkan kebiasaan itu bercokol di diriku. Aku biakkan kesukaan mengkomplain keadaan itu dengan enteng, seakan itulah ambisi yang akan membawa orang lebih maju. Mungkin benar...Tapi adakalanya tidak!

Ketidakpuasan justru membuatku abai menjaga yang sudah ada, yang aku punya. Aku jadi selfish dan membuat ukuran terlalu tinggi untuk kebahagiaan. Aku jadi selalu bermasalah dengan keadaan. Yang aman-aman aku anggap harus dicurigai. Yang harus dicurigai jadi siaga satu buatku. Parno abissssss....

Nggak ada hari yang menyenangkan buatku. Nggak ada kata relaks di hidupku karena aku berjalan dari ketakutan satu ke ketakutan lainnya. Dari kecurigaan satu ke kecurigaan berikut. Aku persis intel yang kerja di BIN(bener nggak sih klo orang yang kerja diintelijen itu parno semua?) Kelimainderaku(sayangnya aku nggak punya yang keenam, supaya yang lima bisa santai-santai ngopi) selalu bekerja seperti radar Amerika melacak pesawat Irak. Capek..kasian juga syaraf-syarafku kusuruh siskamling terus menerus. Pokoknya capek!!!!

Sampai ada satu titik di mana aku harus belajar bahwa komplain bukanlah cara terbaik menhadapi kenyataan. Kita bisa lupa membuka mata dan jadi tersandung, karena mata selalu ditutupi keinginan. Aku belajar bahwa menerima dengan lapang dada tanpa suara adalah cara terbaik mensyukuri nikmat, sekecil apapun. Dan ternyata aku bisa! Memang belum sepenuhnya bisa...Tapi lumayanlah, buat orang se'tak bersyukur' aku. Aku bisa menahan cemooh untuk tidak meloncat keluar dari mulutku saat menemui keadaan yang nggak sesuai keinginanku. Walau belum bisa secara otomatis mengucapkan Alhamdulillah saat menerima apapun, aku mulai bisa mengucapkannya 30 atau 60 detik kemudian. Yaaaa....kadang-kadang bisa juga sejam, sehari atau sebulan kemudian. Tapi lumayan kan?

Narimo ing pandum! Itu ajaran guruku. Beliau bilang, narimo ing pandum....Terima saja! Aku bingung sih sebenarnya, selain karena aku bukan orang Jawa--nggak ngerti makna filosofis kata-kata itu. Tapi lumayan, ingatan akan narimo ing pandum sering membantuku menahan mulut saat ingin melontarkan gugatan. Narimo ing pandum,--meski kata seorang sahabatku sudah jadi ajaran klasik alias ketinggalan jaman--, ternyata bisa melakukan tugas dengan baik untuk memberi jeda hatiku. Memberiku kesempatan untuk menarik nafas sekitar lima detik dan menurunkan keinginan untuk bicara.

Narimo ing pandum...aku jadi suka kata itu. Sebab menerima dengan ringan apapun yang sampai pada kita, membuatku lebih ringan juga menerima cobaan. Menerima dengan ikhlas apapun yang Allah beri, membuatku lebih ikhlas menjalani hari. Menerima dengan gembira kenyataan terburuk, membuatku lebih gembira mendapatkan kebahagiaan-kebahagiaan kecil dari langit. Aku mungkin belum sampai pada tangga teratas kesabaran dan bisa disejajarkan dengan para aulia. Tapi nggak apa...Aku sedang belajar menata hati, supaya jadi orang yang sabar --beruntung aku punya seseorang yang senang mendoakanku supaya lebih sabar, hehehe...maaf out of topics--, jadi orang yang bisa narimo ing pandum.

Jangan tanya ini tulisan mau menyampaikan apa, karena aku sendiri nggak ngerti apa inti tulisanku ini. Tapi ya....pokoknya gitu dehhhhhh....Semoga ceritaku nggak mubazir.. Selamat mikir...