Thursday, February 02, 2006

TENTANG KEMARIN

Ada hari, tatkala waktu seakan terhenti. Dunia menyempit, menarik diri dalam labirin masa silam. Pada detik ketika janin meluncur dari rahim bunda yang hangat, melewati liang sempit, menjemput silau cahaya beraneka. Cahaya yang indah sekaligus mengerikan. Spektrum warna yang terlalu ambigu untuk dipercaya, karena ada lebih dari dasamuka di sinarnya.

Lalu hangatnya rahim perlahan mulai terganti. Dingin menyeruak, mengerutkan kulit untuk sesaat kemudian berubah lagi jadi hangat bungkusan selimut dan dekapan bunda. Dunia penuh warna terasa lebih bersahabat. Janin itu tumbuh di luar rahim, dengan segala keindahan kenangan, sejuta kehangatan dan berliter-liter siraman kasih sayang. Jadi kanak-kanak dengan curahan cinta sepenuhnya, sangat sempurna untuk dirasakan sebagai kekurangan. Janin yang telah kanak itu bahkan tak sempat menyesali keterbatasan ayah-bunda memenuhi materi, karena dadanya telah dibuncah cinta tak berjeda. Ia tak pernah merasa ayahnya miskin meskipun tak pernah berhasil membeli rumah berhalaman luas dengan kolam renang di belakangnya, karena di rumah sempit pun, dekapan dan elusan tangan ayah dikepalanya selalu jadi berkah terindah. Ia tak sempat menyesali keterbatasan bunda yang tak pernah sanggup membelikan mainan mahal, karena ternyata boneka kain buatan tangannya jauh lebih cantik dan bersahabat. Semuanya serba memesona.Warna dunia kanak begitu membuai, meninggalkan kenangan yang bahkan dapat dihadirkan kembali setelah belasan bahkan puluhan tahun.

Masa kanak tak selamanya. Karena usia lalu menetaskan janin jadi remaja. Dunia jadi tak lagi terlalu bersahabat, karena kehidupan mulai menunjukkan wajah aslinya. Janin itu harus belajar bertahan, dan keluar dari sarang kenyamanan. Cinta mulai membuatnya kecewa, persaingan mulai mengisi harinya dan keinginan untuk terlihat mulai menghatuinya. Ayah tak lagi cukup hebat untuk dikagumi, karena pakaiannya yang old fashion. Bunda berubah jadi terompet paling bising. Dunia berubah. Langit dan semesta terbelah dua. Rumah lalu jadi penjara. Persahabatan pun jadi agama baru yang punya kebenaran mutlak. Jihad adalah ketika bisa saling mendukung, untuk kesalahan sekalipun. Membenarkan semua anjuran kawan, walaupun itu artinya harus menikam hati bunda hingga berdarah dan membuat bola mata ayah nyaris melompat ke piring nasinya. Kebenaran adalah aku dan kawan-kawanku.

Lalu masa membawa janin jadi remaja dewasa yang lebih tenang, arif dan tahu tepa salira. Gejolak dalam darah tak lagi menggolak, sudah mulai menghangat dan mengendap. Tapi dunia adalah sekolah yang setiap hari adalah ujian keyakinan. Ribuan pencapaian dari jutaan kegagalan. Guru yang kejam karena memberi ujian sebelum pelajaran. Janin itu harus memamah kesalahan untuk kemudian menelisiki muntahannya, mencari butir-butir makna. Sekalidua ia menemukan intan, tapi selebihnya hanya batu, kerikil atau bahkan pasir. Tapi hidup terus berjalan, semesta tetap berputar. Sebab, rumah tak berdinding intan. Bukankah batu,kerikil dan pasir yang membuat kokoh sebuah menara? Menara di mana janin itu bisa melihat dunia dari sudut berbeda. Bersentuhan lebih dalam dengan nafas alam, meneropong bintang harapan dan menyaksikan pangerannya berkuda di kejauhan. Masa muda yang tak sempat lama dienyam, karena sang pangeran keburu datang, menjemput dan memenjarakannya dalam sebuah gua bernama cinta. Di mana janin itu harus memelihara janin di rahimnya. Mengunyah asa dan menelannya kembali dalam diam. Keyakinan yang salah atas cinta adalah fatamorgana yang hilang kala dijelang. Kenaifan yang telanjang adalah pisau bermata dua yang menusuk ketika tak pandai dimainkan. Tebusan yang teramat mahal untuk sebuah mimpi yang hilang.

Janin itu lalu melahirkan satu, dua janin dari rahimnya. Menyediakan kehangatan yang setara dengan kehangatan bunda untuknya. Mengupayakan keterbatasannya menjadi tak terbatas agar dua janin tercinta bisa membanggakan bundanya. Melawan kebekuan hati agar tetap bisa jadi sarang hangat untuk dua janinnya. Menopangkan kekuatan hanya pada alam untuk bertahan jadi tumpuan mereka. Lalu di mana pangeran? Dia ada, asyik dengan mainannya. Tetap mencinta meskipun tak lagi sempurna. Ketakutan janin yang sudah punya dua janin itu menjelma jadi mimpi buruk yang membuatnya setengah gila. Tapi ia sama sekali tak menyesali takdir, seperti ia tak menyesali bunda yang tak diberi waktu lama untuk menemaninya. Ia gantungkan nyawanya pada semesta, pada genggaman tangan nasib. Perlawanan adalah hal paling menyakitkan sepanjang usia. Maka iapun menyerah di titik kematian sukma. Menyerah bukan untuk menjadi pecundang, melainkan untuk memenangkan piala kearifan. Ia tak lagi membenturkan tubuh ke dinding kenyataan yang hanya membuatnya terluka, tapi mengambil pahat dan palu. Mengukir mimpi, membuat relief alam bawah sadar tertera di monumen jiwanya. Membaca isyarat adalah katarsis buatnya. Bersabar, menyimak keheningan membuat ia bisa melihat bubuk nyeri mengendap dalam gelas kopi buatan Tuhan. Memberi rasa yang lebih sempurna,membuatnya lebih peka menghirup aroma cinta tanpa membuka mata.

Dua puluh lima, duapuluh enam, dua puluh tujuh, dua puluh delapan adalah angka paling menyebalkan dalam hidupya. Angkasanya muram, semestanya mengelam menyisakan sedikit sekali bahagia. Duka yang dipupuk kecewa, disirami airmata yang entah kenapa tak juga kering kendati tiap hari dikuras berkendi-kendi. Kecewa dan airmata yang akhirnya mau berdamai dan tak lagi menyakitkan. Ia lalu bersahabat dengan rasa perih, menikmatinya sebagai berkah yang juga patut disyukuri. Ia andaikan dirinya adalah besi yang tengah ditempa untuk mencapai bentuk yang lebih manis dan fungsi lebih bermanfaat. Hanya penyerahan diri pada kuasa sang pandai besi yang mampu membuatnya tegar menerima pukulan yang paling keras. Hingga di sebuah titik, ia bahkan bisa bersorak girang saat palu memukuli batinnya, jiwanya. Tubuhnya mati rasa.

Lalu, ia merasa puluhan tahunnya tak lagi sia-sia. Hidupnya penuh warna, kadang terang, kelabu dan sesekali jadi gelap,pekat lalu kembali berwarna. Adakah yang perlu disesali ketika langit menghitam dan tak menyisakan bias jingga ketika keyakinan bahwa mentari akan muncul lagi esok pagi terserap oleh seluruh pori? Adakah yang pantas ditangisi ketika menyadari bahwa pedih perih begitu nisbi? Bahwa suka,bahagia bersekongkol dengan duka, nestapa, mengerjai dan membodohinya dengan tipuan hipnosa? Tak ada lagi galau, gundah gulana tatkala cinta bermetamorfosa, keluar dari kepompong kenaifan dengan sayap cantik berwarnawarni, hiasi auranya. Janin itu terlahir kembali. Ia tak mendapat kitab baru dari khaliknya. Ia hanya membalik lembar yang sempat hanya berisi amarah, dengan halaman baru yang masih kosong. Memulai bab baru, menulisi kertas dengan goresan pena yang lebih baik, gerakan tangan yang lebih hati-hati agar tak banyak kesalahan yang membuatnya harus menyoret tulisan.

Tigapuluh tahun adalah awal,ketika janin yang kini telah punya dua janin yang harus ia susui dengan kasih sayang mulai belajar berjalan menapaki kehidupan. Menyelami kedalaman untuk menemukan harta karun kearifan.

(Catatan tentang kemarin, 1 Februari 2006)