Wednesday, September 24, 2008

APA SEMUA HARUS ADA JUDUL?

Ruang yang pengap! Dinding sempit mengurung tubuhku, jiwaku. Apa ada yang peduli, betapa aku kehabisan napas? Apa ada yang peduli betapa aku capek menjalani hidup ini? Dengan cinta yang tidak kuketahui lagi bentuknya. Dengan keterpaksaan yang memurukkanku pada kenyataan bahwa aku pecundang. Ruang sempit ini, di mana aku duduk saat ini adalah tempat teraman yang bisa kutemukan untuk mendengar hatiku. Untuk bicara tanpa takut terdengar siapapun. Di mana tak satu setan pun akan ambil kata menanggapi semua tanyaku.

Hidup ini makin menyesakkan sekarang. Aku sendiri. Udaraku benar-benar habis. Oksigen itu, yang selama ini menyambung napasku tak lagi kumiliki. Aku putus asa. Aku tak tahu seberapa panjang napasaku kini. Aku siap mati. Aku ingin mati. Tak ada udara lagi buatku. Aku tak setegar itu. Aku tak sekuat yang mereka kira. Aku rapuh dan aku ingin disangga. Aku tak kuat lagi untuk tetap berpura-pura kuat menghadapi segalanya. Langit ini kian rendah. Aku tak sanggup lagi menopangnya. Aku tak lagi punya udara. Hidup. Cukup. Aku tak kuat lagi. Tidak, tanpa udara yang biasa menghidupiku. Udara yang kini makin terbatas. Atmosfer yang semakin tipis dan pelan-pelan membunuhku dengan keterbatasannya.

Aku butuh pertolongan. Aku capek. Aku lelah. Dan aku tak lagi bisa beranjak lebih jauh. Aku akan jatuh. Aku sudah siap jatuh. Aku tak akan bertahan. Aku ingin tubuhku hancur. Aku ingin jiwaku terbebas dari tubuh ini. Aku sendiri. Dan memang begitu yang kuinginkan. Agar tak perlu ada tangis melepasku. Aku benci tangisan. Sebab tangisan tak pernah bisa menyelesaikan apapun. Tidak juga soal udaraku. Tangisku tak bisa lagi menghadirkannya. Tangisku tak bisa membuat orang mengerti betapa aku ingin sendiri. Lagi pula, aku tak boleh menangis. Aku tak boleh lari. Aku tak boleh pergi. Aku selalu harus di sini. Di tempat yang tak lagi menghidupi. Aku tak boleh pergi. Apalagi ke mana udaraku berada. Semua tanah terlarang. Aku terbuang.

Apa ada yang bisa mengertiku kini? Setelah semua pelajaran yang kudapatkan. Setelah semua pengalaman yang membuatku jadi batu. Setelah semua tangis, setelah semua kecewa, setelah semua pedih, setelah semua putus asa dan setelah semua…setelah semua…setelah semua…. Haruskah aku diminta tetap jadi aku yang dulu? Aku tak lagi sama. Siapa bisa mengertiku? Siapa bisa melihat dari sudutku? Aku tak lagi sama. Aku yang dulu sudah kubunuh. Kenapa tak ada yang mengerti kalau kini aku ini zombie? Mayat hidup yang sekadar hidup karena ia masih harus hidup. Tanya soal perasaan? Ah, keterlaluan. Mayat tak punya hati lagi. Punya, tapi organ itu tak lagi bekerja sempurna. Aku sudah mati. Aku yang dulu sudah jadi jenazah yang hidupnya disambung oksigen yang kini hampir habis. Aku akan segera tamat.

Tinggalkan aku. Biarkan aku membusuk di sini. Di tempat tanpa udara ini. Aku tak lagi perlu siapa-siapa. Aku biasa ditemani kecewa. Impianku sering tak jadi nyata dan aku tak pernah tanya kenapa. Sebab memang tak semua mimpi harus jadi nyata. Aku sudah biasa jadi anak tiri kehidupan. Terbuang, tersingkir dan aku tetap di sini. Berdiri dengan kedunguanku, dengan keterbatasan yang selalu kutantang. Aku anak tiri yang selalu berhasil melompat melewati rintanganku, kendati kemudian selalu ada tembok yang lebih tinggi yang membuatku selalu sadar kalau aku hanya anak tiri. Anak tiri yang tak pernah mau mengalah. Anak tiri yang selalu tak mau terima nasib dan tak pernah senang hati hanya jadi anak tiri.

Aku sadari semua. Tiap partikel dalam tubuh dan jiwaku yang berangkat mati. Anak tiri yang sudah enggan berjuang lagi. Aku ingin mati. Mati karena kehilangan udara yang menghidupiku. Kupikir baiknya begitu. Ya, baiknya begitu…. Aku lelah dan tak ingin melanjutkan perjalanan ini. Aku ingin berhenti di sini. Di sini…

3 Comments:

At 6:48 PM , Anonymous Anonymous said...

.....jangan terlalu pesimis begitu....kalau mood sedang buruk, jangan berusaha ambil kesimpulan....siapa pun yang diajak diskusi oleh orang yang sedang bete pasti jadi bete juga......kasihanilah orang lain...dia mungkin cinta dan sayang sama kamu, tapi kalau diteror mulu kan jadi takut.....coba dipikir pelan-pelan...yang normal itu yang gimana sih ? Trus, benarkah kamu paling malang di dunia ini ? Please, jangan terlalu melankolis deh..........

 
At 5:14 AM , Anonymous Anonymous said...

Tadinya aku mau menulis panjang lebar, tapi mungkin prosa ini, dibingkai oleh Al-Ashr, Sang Masa, justru lebih mewakili.

AS

Waktu bukan untuk ditunggu

Demi waktu
Dia yang Maha Satu,
Dia yang tak tergantikan kala hilang,
Dia yang sesungguhnya adalah sang Maha Dia.

Sungguh, kita ada dalam kehilangan yang sangat
Dalam ruang dan waktu yang tak terjelang,
Dalam pekat malam, mentari yang tak datang,
Meniti cinta melayar bahtera, lengang tak terbilang,
Terbenam gundah asa melayang gelisah menggelinjang.

Kecuali jika kita percaya,
Bahwa ada jalan lain. Bahwa ada bahtera lain.
Bahwa kita juga bisa bahagia. Bahwa kita juga bisa bebas.
Bahwa kita juga bisa memilih. Jalan hidup kita sendiri.

Melakukan kebaikan,
Akan ada hati yang luka,
Akan ada kayuh yang terkoyak,
Akan ada cercaan yang menista,
Sabarlah, dia adalah niscaya.

Bahu-membahu untuk percaya,
Aku ingin lihat kamu percaya,
Aku ingin dengar kamu percaya,
Bahwa dunia besar luar biasa,
Di pintu gerbangnya pun belumlah kita tiba.

Dan bahu-membahu untuk sabar,
Hidup adalah ujian. Adalah kenyataan. Adalah terpaan beban.
Kesalahan adalah soal biasa. Tiada yang perlu disesalkan.
Tetapi hidup bukan untuk menjadi tekanan, saat bahtera semakin tenggelam.
Pagi datang. Hari baru menjelang. Kuatkan hati, karena Ia adalah suara alam.

 
At 3:36 AM , Anonymous Anonymous said...

aku ingin jadi batu karang, tempat duka sebatang rumput kering..(r)

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home