Monday, April 10, 2006

SINI, AKU BISIKI SESUATU DI TELINGAMU

Sini sayang...

Aku bisiki sesuatu di telingamu
Kata yang tak perlu didengar orang lain
Atau bahkan kepala, leher, tangan dan kakimu
Cukup telingamu yang kuharap segera mengirimnya ke hati

Aku seharusnya tak perlu mengatakan ini
Tapi biarlah, kukatakan saja walau mungkin terlalu pagi
Kamu mulai mengisi hatiku, pelan tapi pasti
Kamu mulai mewarnai hariku, biaskan pelangi

Ssssttt....diam ya...
Jangan bilang siapa-siapa, aku malu
Simpan saja kata-kataku itu di jantungmu
Biar ini jadi rahasia kita berdua

Saturday, April 01, 2006

RAHMAT TERBESAR ADALAH SELALU MEMILIKI HARAPAN

Seseorang yang begitu baik dan berarti bagiku menuliskan itu di kartu ucapan kecil bergambar hati di ulang tahunku yang ke-30 dua bulan lalu. Kalimat yang sangat pendek –karena sesungguhnya aku mengharapkan serangkai puisi atau bahkan berlembar-lembar surat darinya. Berulangkali aku mengeja tulisannya yang sangat rapi, seakan khawatir ada aksara yang terlewat oleh mata minusku. Tapi hanya itu saja yang bolak-balik kubaca. Kalimat itu tak lantas menjadi lebih panjang, namun makin kuat menancap di benakku. Aku mengulangnya ratusan kali, hingga aku ingat guratan tinta berujung di mana. Aku bahkan ingat letak huruf besar kecil yang bercampur baur tak menentu. Mataku serasa bisa membaca kalimat itu tanpa membuka.

Sungguh, lama-lama, kalimat itu jadi seperti mantra. Mantra yang kuucapkan tiap kali aku putus asa dan kehabisan tenaga menjalani hari-hari yang tak selalu menyenangkan. Kalimat yang jadi sugesti bagiku untuk terus melangkah dan tetap berani memiliki mimpi. Buatnya, mungkin kalimat itu hanyalah cetusan tiba-tiba yang meloncat keluar dari tempurung kepalanya yang selalu dipenuhi kata-kata. Baginya, mungkin itu cuma satu dari jutaan kalimat yang selalu mengalir deras dari jemarinya, yang bukan tak mungkin tak lagi ia ingat pernah ia tuliskan.

Tapi, kalimat singkat itu merasuki pikiranku seperti dinginnya udara dinihari menelusupi kisi-kisi pagi. Menyejukkan, menyegarkan dan menenangkanku. Untukku, kalimat itu seperti madu penawar lara. Kain pembebat saat raga dan jiwaku terluka. Penopang ketika kakiku terasa lunglai tak berdaya.

Tetap memiliki harapan adalah pekerjaan yang seringkali terasa begitu berat bagiku. Bukan, bukan karena aku tak mau belajar memiliki harapan. Tapi karena semakin ingin aku menggapai harapan, mereka seperti menjauh dan enggan kuhampiri. Mereka lari, ketika aku mengejarnya. Maka dalam tiap entakkan kaki, kurapalkan kalimat itu bersama doa-doa. Dalam tiap embusan harap, kusaksikan kepulan asa menyebar di angkasa. Kuyakinkan hati, akan ada esok hari. Kulepaskan mimpiku untuk terbang menggapai gemintang, bersikukuh dalam keyakinan : suatu saat mereka akan datang lagi, membawa segenap harap yang pernah kutebarkan.

Dan tampaknya aku mulai dapat mengumpulkan sisa-sisa mimpi yang dulu sempat jadi abu. Aku mulai punya daya untuk kembali menyusun serpihan-serpihan asa yang sempat berserakan. Aku mulai percaya bahwa masa depan akan selalu ada bagi siapapun yang tak pernah membunuh masa lalu dan tak pernah merisaukan masa depan. Ya...kini kembali kusadari, rahmat terbesar memanglah tetap memiliki harapan...

(Terima kasih untuk kalimatnya yang indah, sahabat hati....semoga kamu pun selalu menyimpan harap sebagai rahmat terbesar....Memapasmu dalam kebersaatan adalah juga rahmat yang layak dan selalu kusyukuri...)