Sunday, January 28, 2007

PANGERAN

/1/
Pangeran, aku datang
Menemuimu yang tertawan
Dipayungi awan yang menebal hitam

Seperti saat kamu hendak menyuntingku
Aku pun berdebar, lututku gemetar
Seperti apa wajahmu

Ah, tak mudah rupanya
Banyak gerbang yang harus kukuakan
Banyak penjaga yang harus kulawan

Herannya, aku tak juga surut
Aku yakin pasti bisa menemuimu
Tubuhku beku di depan pintu

Dan kebekuanku melumerkan pintu itu
Kamu muncul di depanku dengan wajah kelu
Sungai matamu meluap membanjir ke hatiku

"Tenang sayang, aku bersamamu," kataku
"Maafkan aku," katamu
Lalu kita berenang dalam isakan


/2/
"Aku menunggu," katamu
Ya, akupun menunggumu
Menunggu pangeran yang dulu

Tapi waktu tak bisa diputar ulang
Roda hidup bergulir tanpa bisa dihentikan
Kamu bertumbuh dengan cara pilihan

Dan nyatanya aku masih di sini
Tak beranjak seincipun
Pangeran atau tawanan sama artinya

Kamu menoreh jejak di peta hatiku
Kamu beri tanda tiap jejak dengan noktah berwarna
Ada yang merah muda, merah darah, hitam pekat juga biru samudra

"Tenang sayang, aku bersamamu," kataku
"Maafkan aku," katamu
Dan kita bersama terluka

Wednesday, January 10, 2007

KEPADA WAKTU

Waktu, miliki aku...
Utuh, penuh, seluruh
Tak usah kau bagi dengan pagi, siang atau petang
Aku tak mau dipunyai bayang-bayang

Saturday, January 06, 2007

MIMPI PENGAMEN KECIL

Pengamen kecil menenteng gitar kecil
Berjalan bangga di trotoar berdebu
Jalan di sisinya penuh mobil mengilat
Merayap mengantri lolos dari kemacetan

Teman si pengamen rambutnya dicat merah
Berbaju kuning, ia tak kalah sumringah
Mereka berdua berjalan mantap, membusung dada
Bahagia tampaknya

Mungkin dalam benaknya mereka berharap
Kelak akan sehebat Iwan Fals
Atau seberuntung Ian Kasela
Yang kabarnya pernah juga mengamen seperti mereka

Atau mereka punya mimpi lain lagi
Suatu saat terkenal seantero negeri
Bukan karena kasus korupsi
Tapi karena jadi pemilik stasiun televisi

GUNDAH

Gundah memang sahabat manusia. Dia datang dalam banyak kesempatan. Kadang hanya singgah sebentar, kali lain dia menginap untuk beberapa lama. Gundah selalu datang dan pergi tergantung suasana hati. Saat datang, biasanya ia membawa rasa tak nyaman yang sulit dijabarkan. Mungkin kita tahu rasanya, tapi sulit menjelaskan bagaimana bentuknya. Yang pasti kita jadi merasa tak enak hati, serba salah dan tak berani melangkah.

Dan saat ini, gundah sedang singgah di hatiku. Tidak, dia tak hanya singgah. Tapi menginap cukup lama. Mungkin sejak sebulan atau dua bulan lalu. Dia memang tak menguasai seluruh ruang di hatiku. Tapi ia berkeliaran bebas dari satu ruang ke ruang lainnya.Membuatku merasa tak nyaman dalam hal yang selalu berganti. Tapi kadang-kadang dia pergi keluar cari angin. Kenapa aku tahu dia pergi cari angin? Sebab hatiku tidak merasakan kehadirannya. Ada saat di mana hatiku begitu ringan tanpa beban. Tapi begitu dia datang, hatiku seperti dilingkupi sesuatu yang rasanya sama seperti saat kita akan masuk ruang operasi. Gelisah, takut, khawatir bercampur jadi satu. Dan semuanya berpadu membentuk satu belenggu yang mengikat tubuhku erat-erat.

Kadang aku dapat melonggarkan belenggu itu dan bernapas sejenak.Tapi seringkali, belenggu itu kembali mengikatku. Menggantung dan mengayunku ke segala arah perlahan-lahan dan kadang bertambah kencang. Dunia di bawah kakiku berputar sementara langit tampak seperti pusaran kabut dengan sebuah titik pekat di tengahnya. Mungkin titik pekat itu suatu saat akan menelanku serupa lubang hitam di luar angkasa yang selalu saja menelan rahasia semesta. Bila sudah puas memusing, gundah kembali meletakkanku di tanah yang kupijak dengan limbung. Pening karena ayunanya, seringkali aku melangkah dengan goyah. Menapaki satu demi satu batu hidup dengan pijakan yang ragu. Gundah selalu saja mampu mengantarku ke muka gerbang kebimbangan. Gundah dan bimbang memang berteman. Ada yang menganggap keduanya sebagai peri pelindung yang akan menghindarkan manusia dari kesialan, tapi banyak juga yang menganggap keduanya sebagai batara kala yang siap menelan manusia dan menjebloskannya ke sumur kesalahan tanpa dasar.

Aku sering bertanya, dari mana gundah datang. Dari langit yang begitu luaskah atau dari kesempitan hatiku yang tak mampu memandang jernih luasnya semesta? Aku tak selalu berhasil mendapat jawaban untuk pertanyaan ini. Kadang mata hatiku yang sempit berhasil melihat cercah sinar yang memberiku petunjuk. Tapi lain kali, aku tak berhasil menemukan setitik biaspun dan membuatku harus meraba seperti si buta. Aku berusaha membuat mata hatiku terlatih melihat bagaimanapun keadaan di sekelilingku. Walaupun tak selalu berhasil. Sandungan, benturan atau nyeri karena terperosok kerap kualami. Jangankan dalam gelap, dalam terang pun selalu ada kemungkinan kita tersandung, terbentur atau terperosok kan? Apalagi dalam keadaan gelap dan redup.

Dan satu hal yang pasti, gelap ataupun terang, kegundahan tampaknya selalu gembira menyambangi kita. Membuat kita selalu bertanya mengapa ia datang. Tapi ada banyak hal dalam hidup yang memang harus kita mamah tanpa bertanya. Termasuk saat kegundahan datang. Jadi, untuk apa aku bertanya mengapa?