Wednesday, March 25, 2009

MASIH SEPERTI SELALU

Kau mungkin tak tahu. Masih ada semangkuk mawar di sini. Masih segar. Baru kupetik dari taman hati. Kusimpan buatmu, seperti dulu, seperti selalu...

Tuesday, March 10, 2009

LAMPU LALU LINTAS

Lampu lalu lintas itu pernah ada, merambui jalanku. Dulu. Katanya kita tak boleh bicara terlalu banyak tentang dulu. Memang. Aku juga tahu. Tapi biarlah. Bagaimana pun dulu pernah ada. Mengisi sepenggal jalanku dengan kehangatan. Sapa jumpa kemalaman dan ucap pengantar tidur kepagian. Perhatian mengalir begitu konstan, begitu tenang, begitu menyenangkan. Hari-hari sepi sedikit terobati. Lampu lalu lintas yang setia mewarnai malamku yang akrab dengan sepi dan kantuk tak kunjung datang. Merah, kuning, hijau. Pendar yang sangat sederhana. Sesederhana air putih yang katanya ingin senantiasa ia sediakan manakala aku tak punya siapa-siapa, bahkan untuk sekadar mengambilkan gelas dan membantuku meneguk isinya.

Dulu begitu lena, meski tak lama. Terlalu banyak cerita di sepenggal waktu yang begitu sempitnya. Aku bahagia. Bahagia yang baru kusadari setelah tiada. Itu memang biasa. Tapi aku belum juga pandai terbiasa. Kadang aku ingin menjelmakan pernah itu menjadi kini. Terlalu muluk untuk menarik waktu. Aku harus hanya merentang. Sebab masa tak bisa kutarik pulang. Pernah, akan tetap semata pernah. Tak akan mungkin kujelmakan jadi kini. Yang terjadi memang harus terjadi. Jalani saja. Ah, itu kan yang kerap kukatakan padanya, juga dunia. Nyatanya aku kerap menjalani sambil bertanya dan tak pernah sedia hanya menjalani saja. Selalu aku bertanya kenapa. Terlebih tentang lampu lalu lintas yang berlalu tiba-tiba. Pertanyaan berbaris panjang seperti deret hitung yang terlalu sukar dan tak sanggup kupecahkan. Semua bermuara pada tanya : kenapa? Dan aku kembali sibuk menerka.

Lalu sebuah siang mengirimku padanya. Atau, siang mengirimnya padaku? Sama saja. Mungkin itu hanya saat yang paling tepat untuk bertemu. Pertemuan tak terduga sebab sebuah buku tentang gadis kecil dan bintang, berteman sepotong puisi tentang Adam dan langit yang lengang dalam geming. Kurasa, matahariku bersinar lebih pendar ketika ia menghampiriku. Dia tanya, apa aku punya waktu panjang siang itu. Dan aku memang punya. Lampu lalu lintas itu lantas mengajakku ke ketinggian. Memandangi kemacetan, lapangan merah, pepohonan dan kubah mesjid di kejauhan. Perhatian mengalir begitu deras dalam percakapan kami –mungkin saja hanya aku yang merasa begitu- meski ada pagar yang tak ingin di langgar.

Dulu menjelma kini sesaat. Kenangan hadir dalam semangkuk mi Itali masak aglio oglio. Ya, seperti pernah. Sebab menu itu pernah ada dalam pertemuan kami yang pertama dengan jenis mi berbeda. Sementara kini –siang itu tepatnya- menjelma lewat dua gelas jus dengan isi berbeda : wortel dan stroberi. Hal lain yang sama sekali baru adalah : beberapa kuntum bunga mawar gading dan beberapa lembar daun dracena hijau di atas meja bertaplak putih. Satu hal yang luput dari perhatianku adalah perubahan. Beberapa hari setelah siang itu, aku baru mendapat jawaban mengapa perubahan itu terjadi. Beda, memang sebuah tanda perubahan yang acap terlambat disadari dan kerap terabaikan. Beda yang dihadirkan dengan sengaja sebab ada rambu baru yang terpasang atau rambu lama yang terpancang tetap di tempatnya. Beda yang harusnya cepat ditangkap dan disimak. Kendati tak semua berbeda.

Siang diketinggian itu, ia tampaknya masih ingin tetap jadi rambu yang baik seperti dulu. Disediakannya waktu dan telinga dan …. -aku ragu, apakah ia masih mendengar dengan hati-. Dulu lampu lalu lintas itu mendengarkan dengan semua : waktu, telinga, hati. Mungkin tidak lagi dengan yang terakhir kini. Tak apa. Aku cukup senang bertemu dengannya. Sebab setidaknya pertemuan itu mengamini sesuatu : pernah ada dulu, ketika ia masih merambuiku. Pembicaraan tejalin timpang seperti biasa. Lampu lalu lintas memang selalu sedikit bicara bukan? Ia lebih banyak menyimak debu jalan, kemacetan siang dan kelengangan malam ketimbang bicara. Kata-katanya cuma terujar lewat pendar merah, kuning, hijau yang singkat. Lampu lalu lintas tak ada yang dilengkapi corong suara. Itu sebabnya ia menyimak saja keramaian pikiran dan keriuhan suara di kepalaku, di hatiku, lalu sesekali memberi tanda lewat kata dalam simbol warna.

Namun jarak itu mulai terasa. Tak terhindari. Bahkan sejatinya jauh sebelum pertemuan kami siang itu. Lampu lalu lintas penyabar itu melipir pergi ke simpangan lain sebab ia tak mendapat celah dan tempat di simpanganku. Tempat yang pernah coba ia siangi terbukti masih berisi dan ia tahu, tak ada celah baginya. Jalan yang sempat berusaha ia kuakkan tak menuai tanggapan. Aku bukan tak tahu geraknya mendekatiku. Aku tahu, bahkan mungkin sangat. Aku hanya tak bisa menerimanya dan lampu lalu lintas itu juga tak banyak bicara. Ia hanya memberi tanda sambil mengamati. Ia amati aku yang begitu resah atas kemungkinan belahan jiwa yang hilang. Ia amati aku yang demikian panik menahan belahan jiwa agar tak pergi. Ia juga amati aku yang teramat gelisah berusaha menihilkan segala tanda darinya yang muncul ke udara yang menyungkup perbincangan kami. Kurasa ia menyadari itu : upayaku menihilkannya.

Maka ia memilih untuk mulai berhenti memberi tanda. Menarik semua kata-kata dan rasa yang pernah ia ungkapkan pada seorang sahabat kami. Ia biarkan asanya menguap dan menghilang bersama hujan yang menjadikan awan tiada (ya, ia pemuja Aku Ingin, puisi generik milik Sapardi). Sebab, pengejaranku pada belahan jiwa seperti tak terbendung, tak terhenti, tak terbantah. Belahan jiwa seperti tak terganti. Aku percaya belahan jiwa hanya satu. Lampu lalu lintas itu tidak. Ia selalu bilang belahan jiwa ada beberapa. Ia selalu berusaha mempengaruhiku untuk meyakini keyakinannya. Dan aku selalu tidak terima. Kesahku padanya selalu saja tentang belahan jiwa. Tentang betapa aku mencintai belahan jiwa. Lampu lalu lintas itu beku. Simpanganku terlalu penuh baginya. Aku hanya mengijinkan dia lewat dan singgah tapi tak boleh tinggal. Padahal, lampu lalu lintas senantiasa menetap di sebuah simpangan. Tapi simpanganku untuk belahan jiwa. Dan dia tahu itu.

Lalu, ketika lampu lalu lintas yang hanya bisa lewat dan singgah tanpa boleh menetap itu pergi, nyatanya aku merasa kehilangan. Pendar merah-kuning-hijaunya, meninggalkan sesuatu yang sangat familiar. Sesuatu yang membuatku sangat terbiasa, hingga kehilangannya begitu lumayan terasa. Ada kesadaran berbumbu sesak dan rasa bersalah yang menumbuk. Betapa aku demikian tak adil padanya. Juga betapa baik dan sabar lampu lalu lintas itu menjalankan perannya. Aku menihilkannya untuk sesuatu yang tak pasti, meski aku selalu berkilah padanya kalau itu pasti. Kesemuan yang barangkali membawa lampu lalu lintas itu pada sebuah pertemuan, keyakinan dan keputusan : ia jatuh cinta pada simpangan lain. Aku bahagia untuknya dalam keterkejutan yang agak sedikit di luar dugaan. Aku berdoa untuknya dalam ketidakpercayaan pada indera pendengaran. Aku kehilangan. Itu kesimpulan yang nyaris pasti.

Namun setulusnya aku berbahagia untuknya. Untuk lampu lalu lintas yang selalu kuyakini pernah kutemui di kehidupan lalu. Yang selalu kubayangkan pernah menjadi ayah atau kakak lelakiku. Yang selalu menyangkal dan bertanya, kenapa aku melulu menolak kemungkinan kalau dulu kami adalah kekasih atau pasangan yang berbahagia. Meski sedikit guyah, aku yakin begitu tulus berbahagia untuknya. Lampu lalu lintas yang pernah berusaha kunihilkan keberadaannnya. Kami sepakat bersahabat kini. Tak ada niat menahan perginya. Ia layak mendapat kebahagiaan sempurna. Namun masih ada satu yang mengganggu : aku merasa bersalah pernah berusaha menihilkannya, menafikkan keberadaannya. Aku hanya berpikir kini, betapa tak nyaman dinihilkan. Maafkan aku untuk apa yang terjadi dulu...

(untuk dulu, kenangan, keikhlasan, persahabatan, Traffic Light di simpangan Cideng menuju Musi, dengan sebuah restoran mi di sisinya, dan sebuah blog yang telah dihapus pemiliknya)