Wednesday, October 22, 2008

TENTANG BUKU YANG BELUM SEMPAT SELESAI KUBACA

Ada beberapa buku yang sedang kubaca bersamaan, sekarang dan waktu-waktu lalu. Beberapa terhenti di tengah, tanpa gairah untuk menyelesaikannya. Kekuatanku membaca sepertinya memang sedang sangat rendah. Atau mungkin karena terlalu banyak buku dalam satu waktu. Atau waktu terlalu sempit membuatku tak punya waktu menyentuh buku. Atau sebab minatku yang terlalu mudah teralih ke buku lain sebelum tuntas kubaca yang lain. Meski itu tak berlaku mutlak. Sebab, beberapa buku lain kemarin-kemarin, bahkan kutuntaskan hanya dalam satu putaran bintang. Saat ini, sedikitnya tiga buku tengah kubaca bersamaan. Semuanya menunjukkan tendensi serupa. Terhenti di tengah atau bahkan di permulaan. Sering perasaan bersalah hinggap melihat buku-buku itu. Ada yang sangat tebal, bercerita tentang perjalanan spiritual seorang pemanjat tebing yang bahkan, bab ketiga dari puluhan bab di dalamnya, belum sempat kulampaui. Ada lagi buku setengah tebal berisi rahasia hidup yang dihadiahi seorang teman. Itu pun sama. Belum sempat kulalap seperti biasa. Satu yang lain adalah buku cinta yang menguras airmata. Itu bernasib sedikit lebih baik karena aku mengudap beberapa cerpennya yang legit meski belum sempat kuhabiskan seisi piring. Setidaknya, nasib buku itu masih lebih baik ketimbang cakram padat yang menyertainya, yang belum sempat kudengar dengan seksama. Hmmm...waktu memang sedang tak jadi sahabat buku-bukuku akhir-akhir ini. Atau aku justru yang kehabisan tenaga untuk bercengkerama dengan mereka? Ya, bisa dua-duanya. Semoga buku-buku tak memusuhiku ketika waktu mau bersahabat lagi denganku.

Saturday, October 18, 2008

MOMONG

malam ini, separuh dinding rinduku runtuh
oleh sapa tak bersahaja di dindingmu
malam ini, sebelah hatiku memar
oleh bentur udara yang tak membiarkanku sampai padamu
ngilu, nesu, bisu

I'LL FIND MY WAY...

Tadi, waktu nonton aksi keren Titi Sjuman&Friends di Salihara, aku tidak tahan untuk tak mengirim sms pada seorang kawan yang keburu meninggalkan tempat itu. “Rugi pergi…Jazznya bagus…” kira-kira begitu isi sms yang kukirim setelah telingaku mengirim sinyal ke otak untuk mengagumi tampilan cemerlang folk jazz yang judul pertunjukannya 'Just Another Day' itu. Sajian terakhir pembukaan festival Salihara malam tadi. Setelah pesan itu terkirim, sekelebat pendapat menyenggol otakku: “Hahaha, anak bawang kok sok tahu. Mau merekomendasi jazz pada orang yang sudah melanglang jauh melebihi langkah kakimu yang tak pernah beranjak dari halaman rumah. Kamu itu serupa anak kampung yang bercerita tentang kota pada anak kota! ” Memang sih, kawanku itu bertitel dua atau tiga langit lebih tinggi dariku. Terpelajar dan punya segudang pengalaman yang ia kumpulkan dari ribuan sudut dunia. Aku tentu saja bukan imbangan. Dari sisi manapun dilihat dan dengan cara apapun melihat. Sangat njomplang memang. Wajar kalau pikiranku yang memang suka sekali mengejek melontarkan cemooh pedas seperti itu. Rasa tak nyaman serupa penyesalan sedikit membuat dudukku melorot , ah, tepatnya hatiku yang melorot dan semangatku ikut lunglai di kursi yang kududuki.

Tapi itu sebentar saja. Ejekannya itu tak bisa menumpasku. Ia kalah kali ini. Aku tak goyah. Ia justru menumbuhkan sebuah kesadaran lucu dalam diriku. Tentang kanak-kanak abadi yang tetap hidup dalam tubuh dewasaku. Itu aku. Diri sejatiku. Barangkali. Aku juga tak pasti. Tapi sumpah, senang sekali menyadari hal itu. Ketika pikiran mengejekku tadi, aku limbung. Sekejap aku mengerutkan nyali seperti daun putri malu tersenggol kaki anak nakal yang lewat di sisinya. Tapi kesadaran bahwa aku menemukan anak kecil itu, bocah penasaran dengan mata seterang bintang itu dalam diriku, aku berkeras tak ingin mengalah. Aku ingin menimang dia dalam dirku selamanya. Anak kecil yang tak pernah takut apa-apa. Yang selalu bermimpi tinggi menjadi orang besar. Rencana besar yang bahkan terlalu besar bagi tubuh dewasaku yang tak pernah berani mewujudkannya. Anak kecil itu tak pernah meragukan diriku. Aku seringkali, bahkan nyaris selalu. Anak kecil itu tahu aku mampu sementara aku selalu membantah kemampuanku. Aku tertawa pada ruang hampa. Ya, peragu itu aku dan anak lugu itu pun aku.

Hahaha... Lucu. Aku tumbuh dalam keterbatasan yang kalau mau dilihat dengan bijak, ya tetap lebih baik dari banyak orang lain. Tapi nyatanya memang cukup terbatas. Aku mengalami banyak kebuntuan yang membuatku harus pandai-pandai berdamai dengan kenyataan. Kepak sayapku tak pernah berhasil terbang lebih tinggi menggapai mimpi, meski pencapaiannya tetap patut disyukuri. Sayap kecilku cukup kuat menghadang terpaan badai. Aku menghargainya. Panjang benar kalau menulis semua keterbatasan ku yang menjelma dalam banyak rupa. Herannya, aku tak pernah mau dibatasi keterbatasan. Tadi aku baru tahu, anak kecil itu yang membantu. Anak kecil yang tumbuh dalam diriku itu selalu berhasil membuatku melompat tinggi melampaui keterbatasan. Dia, selalu bisa mengomporiku untuk maju, meraih apa yang kupikir tak bisa kuraih. Ia leluasa melompat menjangkau apa yang kuyakini tak akan terjangkau. Ia kuat memanjat pucuk yang kupikir tak sanggup kutapaki. Ia lepas tertawa dan tak takut bahagia di waktu aku bahkan tak berani tersenyum. Ia ringan melakukan semuanya. Ia riang dan spontan.

Anak itu menjelma sebagai aku yang sangat positif. Sementara aku, menjadi sisi negatif yang selalu menegasikan keberanian anak kecil yang adalah aku itu. Aku bahagia sekali menemukan dia dalam diriku. Anak kecil yang jujur dan tak takut pada keterbatasan. Anak kecil yang selalu bangkit tiap kali jatuh tersungkur dan tertawa riang saat berhasil mengatasi rintangan. Anak kecil yang bahagia dan tak ragu menertawakan ketololannya untuk jera serta tak mengulangi kebodohan yang sama. Anak kecil yang begitu mulia karena terberkahi kasih Penciptanya. Sungguh, senang sekali terilhami kesadaran tadi. Masih sampai kini. Meski aku tak yakin apakah masih juga begitu nanti (hahaha, orang dewasaku mulai menindas anak kecilku. Keraguan itu!). Tidak, aku ingin kesadaran itu tinggal dan hidup selamanya. Tadi, ketika kesadaran itu datang, ruang pertunjukkan gelap seperti benderang sebab lampu yang menyala di kepalaku. Lamat-lamat, kalimat tak jelas meningkahi lamunanku. “I’ll find my way” penggal kata itu saja yang cukup jelas tertangkap. Entah lagu apa yang disenandungkan Titi Sjuman. Tapi kalimatnya serupa arus tenang di sungai berair sejuk yang mengalir dalam hatiku. I’ll find my way… Selama aku membiarkan anak itu terus hidup dalam diriku. I’ll find my way, selama aku membiarkan pintu-pintu terbuka dan menunjukkan jalan itu padaku. Ya, I’ll find my way…One day…

Sunday, October 12, 2008

TENTANG BARUSAN

dan kata-kataku kembali lewat selembar kartu biru bertulis Judgement/Hihger Self. ia menyuruhku untuk merujuk pada ketelitian, rasionalitas, analisa dan kerifan. ya...jalan paling mudah menghadapi tuduhan kurasa. menurutnya, kartuku itu, ini bukan saat yang tepat untuk bertindak tergesa. orang boleh menghujaniku dengan berbagai tuduhan. tapi sesungguhnya, aku tak akan terjungkal oleh tuduhan apapun. tak ada yang mendesak untuk segera dituntaskan. tak ada yang terlalu penting untuk ditanggapi secara berlebihan. kendati bagiku, tuduhan itu menyebalkan dan menyudutkan. bahkan kalau boleh lugas bicara aku ingin bilang : apa urusan mereka? tapi ini bukan saatnya. terlalu berlebihan untuk memanggil emosi datang untuk sesuatu yang lebih mirip lelucon ketimbangan masalah besar. memang menyebalkan, tapi juga tak terlalu penting hingga bisa diabaikan. kartuku bilang, biarkan emosi pergi jalan-jalan, menghirup udara segar atau hinggap di kepala tak berjiwa. aku, katanya, lebih baik putar haluan, kembali ke Rumah, di mana Jiwa Luhurku duduk tenang, merapal doa membimbingku kembali pada kekuatan batin yang selama ini kumiliki. ia menyuruhku mengikuti kata hati untuk mundur dari pentas drama dan akting yang semakin runcing. tinggalkan saja. katanya, aku perlu jeda. aku perlu hening. saat ini selalu berasal dari kemarin, dari tadi dan barusan. selalu ada alasan yang membuat sesuatu terjadi. yang aku butuhkan saat ini, adalah mempelajari dan menganalisa semua faktor yang bertendensi jadi pemicu kini. Jiwa Luhur menawari untuk jadi pembimbingku dan kenapa pula harus tak kuijinkan. katanya, ia mungkin perlu menginap malam ini, atau mungkin tiga hari hingga aku mahir menganalisa dan mendapat jawabannya. mungkin saja, pesan yang kutangkap nanti serupa ini : ikhlaskan apapun yang menimpamu sekarang.

ada apa dengan malamku? dia tak lagi cinta. sepi. hangat itu melipir pergi. pelan, tenang seperti kabut menguap dari pucuk-pucuk gunung di ketinggian. ada apa dengan siangku? dia tak lagi kasih. akrab itu melepas diri. mengendap, menungguku silap lalu lenyap di keriuhan. ada apa denganku? dengannya? semua asing. aku hanya bisa melihat gerak bibir bisu dalam bahasa yang tak kutahu. aku perlu masa lalu, ketika bunga masih berwarna. saat pelangi masih punya merahjingga yang kini pudar. pelangiku tak lagi utuh. padahal aku masih duduk di bangku itu. ada apa dengan dini hari ini? sunyi terlalu mencekik. gamang mengeloniku dengan sehelai perih. tak ada yang mengertiku lagi. cinta tak lagi jadi doa, sayangnya. dia jatuh hina serupa mantra pengusir hantu . aku. apa salah aku menghantuimu?