Sunday, September 24, 2006

BERANGKATLAH KANDA

Senja belum lagi sempurna saat kau pergi meninggalkan yang terkasih. Hanya sunyi membungkus lazuardi ketika matamu memejam pelan. Katup terakhir yang mengantarmu dalam dekap sang Perkasa. Dunia ini memang melelahkan dan kau sudah tiba di ujungnya, di tepi waktu . Lemparkan kefanaan, lelapkan impian. Berangkatlah kanda, dalam iringan tadarus asmaNya. Kebadian menunggu. Jangan ragu, kenangan tentangmu tak akan mati di hati kami.
(Selamat jalan Bang Aen tersayang...)

Friday, September 22, 2006

KANGEN BUNDA

Menjelang puasa begini, aku jadi kangen Bunda...

Dulu, waktu Bunda masih ada, menjelang puasa -sama seperti menjelang lebaran-, pasti rumah selalu meriah dan penuh kehebohan di dapur. Biasanya, sehari sebelum puasa, Bunda udah repot belanja ke pasar (walaupun tiap hari juga Bunda belanja ke pasar sepulang jam kantor dan masak sore-sore buat makan malam kami serumah) dengan belanjaan yang lebih ekstra dari hari-hari biasa.

Bunda berasal dari Meulaboh dan tumbuh besar di Banda Aceh. Dalam kultur di mana Bunda di besarkan, puasa dan hari raya adalah saat yang sangat sakral dan selalu disambut riang gembira. Nggak ada cerita menyambut puasa cuma santai-santai aja. Ada tradisi tak tertulis buat banyak keluarga Aceh, bahwa kalau puasa itu, apalagi hari pertama, menu harus spesial. Kalau biasanya menunya cuma ikan-ikanan, maka saat puasa, menu berbahan dasar daging harus ada dan bisa dalam beberapa olahan. Udah rendang, ada kari, ada sie rebuh (daging yang dimasak dengan cabe merah, bawang putih dan cuka yang bisa awet agak lama dan makin enak setelah dipanaskan berulang ulang), trus juga ada semur dan gule kurma untuk anak kecil yang tidak tahan pedas. Itu belum lagi ditambah dengan beragam sayuran dan makanan pendamping lain. Pokoknya heboh, boh, boh, boh....

Makanya, ketika berkeluarga, Bunda juga menerapkan cara yang sama ketika Ramadhan menjelang. Pada hari sebelum puasa yang biasa kami sebut 'meugang', ya itu tadi kehebohan di dapur kecil rumah kami pasti terjadi dan sudah pasti, menu spesial yang bakal tersaji di sahur pertama. Dan aku selalu bersemangat bangun sahur, bahkan kadang sampe nggak bisa tidur. Padahal, semangatnya cuma seminggu pertama aja. Begitu minggu kedua dan selanjutnya, boro-boro mau makan dengan semangat, mau bangun aja malesnya minta ampun. Bisanya aku cuma bangun sebentar, minum segelas air putih dan....ambruk lagi di tempat tidur.

Kembali ke soal Bunda, ya begitu itu, Bunda selalu menjadikan puasa sebagai sebuah momen yang layak dirayakan dan disambut dengan segenap kegembiraan. Padahal, bukan tidak mungkin, di saat yang sama Bunda sedang tidak punya uang karena tanggung bulan dan belum gajian. Tapi nyaris tak satu Ramadhan pun terlewat tanpa hidangan spesial. Buatku sendiri, sebenarnya Ramadhan tidak harus selalu disambut dengan pesta pora. Tapi mungkin, Bundaku akan merasa bersalah kalau hanya menyajikan ceplok telur di meja makan kami di sahur pertama. Kalau kuingat hal itu sekarang, saat aku juga sudah berkeluarga, aku jadi sering ingin menangis. Sebab, perasaan untuk memberikan yang istimewa buat keluarga di sahur pertama dan hari raya memang muncul begitu saja, sama seperti Bunda.

Tuesday, September 12, 2006

KITA PERLU PENJAHAT UNTUK JADI PAHLAWAN

Pernahkah terpikir, seandainya di dunia ini tidak ada kata 'penjahat'? Akankah ada istilah pahlwan seperti yang kita kenal saat ini?

Pikiran itu melintas begitu saja di kepalaku beberapa waktu lalu. Saat aku melihat betapa orang --tentu saja aku termasuk di dalamnya-- dapat dengan mudah menuding orang lain supaya pujian mengalir pada dirinya. Bukan perkara sulit kan mencari kesalahan orang lain, menyimpannya, untuk suatu saat jadi senjata pembunuh yang akan membuat kita jadi pahlawan? Dalam banyak hal, kita pasti melakukan atau paling tidak pernah melakukan ini.

Cuma, karena alam itu tidak suka ketimpangan, maka ia pun bertindak adil pada manusia. Setiap orang diberi peluang untuk memainkan peran. Suatu kali kita jadi penjahat, atau dituding sebagai penjahat tapi dilain waktu giliran kita yang jadi pahlawan, atau dianggap pahlawan karena kita berhasil menunjukkan pada dunia bahwa orang lain adalah penjahat. Begitu terus, berganti-ganti.

Sayangnya, ada orang yang tidak sadar bahwa alam ini adalah keseimbangan. Maka dia pun membuat skenario untuk bisa selalu jadi pahlawan. Caranya? Gampang... Tuding saja orang lain sebagai penjahat. Bicara terus dan selalu dengungkan keburukan orang lain. Besarkan kesalahan sekecil apapun yang dilakukan orang dan besarkan jasa sekecil apapun yang kita lakukan supaya orang tak melihat kesalahan kita. Dan kalau si penjahat mulai menjadi baik karena serangan kita, siapkanlah target lain yang akan kita tuding sebagai penjahat. Bukankah mudah mencari kesalahan orang lain? Apalagi konon, bangsa ini memang juaranya mencari kambing hitam. Nah, gampang kan jadi pahlawan?

Tapi aku percaya, alam ini adil. Maka aku sekarang sedang belajar untuk jadi orang biasa saja. Artinya, alam akan memberi peran pada kita --entah jadi penjahat atau pahlawan-- tanpa kita minta. Ribuan script telah disusun alam untuk kita lakoni. Dan saat ini, aku sedang belajar untuk bisa berperan sebagai apapun. Saat diberi peran sebagai penjahat ya aku mainkan dengan improvisasi secukupnya agar peranku tidak menyakiti lawan mainku atau penontonnya. Dan ketika suatu kali aku diberi peran sebagai pahlawan, aku akan terima itu, tanpa aku harus menjatuhkan lawan mainku dan membuatnya jadi penjahat sungguhan. Aku tak ingin ada yang tersakiti karena peranku.

Percaya saja pada alam dan ia akan membuatnya jadi seimbang... Jadi tak usah heran kalau sampai kapanpun akan tetap ada penjahat, karena selalu akan ada yang ingin jadi pahlawan...