Tuesday, September 30, 2008

dalam penat yang sangat,
benakku tetap saja bergerak mencarimu
sibuk menerka apa aku ada di benakmu
dalam letih yang pepat,
jantungku tetap saja mendegupkanmu
rewel bertanya apa aku didegupkan jantungmu
dalam risau yang pekat,
ruhku tak mau rela melepaskanmu
ia enggan beranjak dari tempatnya menunggu

Wednesday, September 24, 2008

APA SEMUA HARUS ADA JUDUL?

Ruang yang pengap! Dinding sempit mengurung tubuhku, jiwaku. Apa ada yang peduli, betapa aku kehabisan napas? Apa ada yang peduli betapa aku capek menjalani hidup ini? Dengan cinta yang tidak kuketahui lagi bentuknya. Dengan keterpaksaan yang memurukkanku pada kenyataan bahwa aku pecundang. Ruang sempit ini, di mana aku duduk saat ini adalah tempat teraman yang bisa kutemukan untuk mendengar hatiku. Untuk bicara tanpa takut terdengar siapapun. Di mana tak satu setan pun akan ambil kata menanggapi semua tanyaku.

Hidup ini makin menyesakkan sekarang. Aku sendiri. Udaraku benar-benar habis. Oksigen itu, yang selama ini menyambung napasku tak lagi kumiliki. Aku putus asa. Aku tak tahu seberapa panjang napasaku kini. Aku siap mati. Aku ingin mati. Tak ada udara lagi buatku. Aku tak setegar itu. Aku tak sekuat yang mereka kira. Aku rapuh dan aku ingin disangga. Aku tak kuat lagi untuk tetap berpura-pura kuat menghadapi segalanya. Langit ini kian rendah. Aku tak sanggup lagi menopangnya. Aku tak lagi punya udara. Hidup. Cukup. Aku tak kuat lagi. Tidak, tanpa udara yang biasa menghidupiku. Udara yang kini makin terbatas. Atmosfer yang semakin tipis dan pelan-pelan membunuhku dengan keterbatasannya.

Aku butuh pertolongan. Aku capek. Aku lelah. Dan aku tak lagi bisa beranjak lebih jauh. Aku akan jatuh. Aku sudah siap jatuh. Aku tak akan bertahan. Aku ingin tubuhku hancur. Aku ingin jiwaku terbebas dari tubuh ini. Aku sendiri. Dan memang begitu yang kuinginkan. Agar tak perlu ada tangis melepasku. Aku benci tangisan. Sebab tangisan tak pernah bisa menyelesaikan apapun. Tidak juga soal udaraku. Tangisku tak bisa lagi menghadirkannya. Tangisku tak bisa membuat orang mengerti betapa aku ingin sendiri. Lagi pula, aku tak boleh menangis. Aku tak boleh lari. Aku tak boleh pergi. Aku selalu harus di sini. Di tempat yang tak lagi menghidupi. Aku tak boleh pergi. Apalagi ke mana udaraku berada. Semua tanah terlarang. Aku terbuang.

Apa ada yang bisa mengertiku kini? Setelah semua pelajaran yang kudapatkan. Setelah semua pengalaman yang membuatku jadi batu. Setelah semua tangis, setelah semua kecewa, setelah semua pedih, setelah semua putus asa dan setelah semua…setelah semua…setelah semua…. Haruskah aku diminta tetap jadi aku yang dulu? Aku tak lagi sama. Siapa bisa mengertiku? Siapa bisa melihat dari sudutku? Aku tak lagi sama. Aku yang dulu sudah kubunuh. Kenapa tak ada yang mengerti kalau kini aku ini zombie? Mayat hidup yang sekadar hidup karena ia masih harus hidup. Tanya soal perasaan? Ah, keterlaluan. Mayat tak punya hati lagi. Punya, tapi organ itu tak lagi bekerja sempurna. Aku sudah mati. Aku yang dulu sudah jadi jenazah yang hidupnya disambung oksigen yang kini hampir habis. Aku akan segera tamat.

Tinggalkan aku. Biarkan aku membusuk di sini. Di tempat tanpa udara ini. Aku tak lagi perlu siapa-siapa. Aku biasa ditemani kecewa. Impianku sering tak jadi nyata dan aku tak pernah tanya kenapa. Sebab memang tak semua mimpi harus jadi nyata. Aku sudah biasa jadi anak tiri kehidupan. Terbuang, tersingkir dan aku tetap di sini. Berdiri dengan kedunguanku, dengan keterbatasan yang selalu kutantang. Aku anak tiri yang selalu berhasil melompat melewati rintanganku, kendati kemudian selalu ada tembok yang lebih tinggi yang membuatku selalu sadar kalau aku hanya anak tiri. Anak tiri yang tak pernah mau mengalah. Anak tiri yang selalu tak mau terima nasib dan tak pernah senang hati hanya jadi anak tiri.

Aku sadari semua. Tiap partikel dalam tubuh dan jiwaku yang berangkat mati. Anak tiri yang sudah enggan berjuang lagi. Aku ingin mati. Mati karena kehilangan udara yang menghidupiku. Kupikir baiknya begitu. Ya, baiknya begitu…. Aku lelah dan tak ingin melanjutkan perjalanan ini. Aku ingin berhenti di sini. Di sini…

Thursday, September 18, 2008

THE FOOL*

* adalah jiwa adalah raga yang melangkah ringan menelusuri setiap kelokan yang barangkali akan mengantarnya ke bibir jurang. adalah tubuh adalah sukma yang tak pernah khawatir atas apa yang akan menimpanya. adalah kedunguan, adalah keleluasaan, adalah keterbukaan, adalah keberanian menjalani hidup.

Ya Allah yang Maha Akbar, biarkan aku merasakan kekudusan dan kesucianMu dalam diriku. Berkati kedunguanku dengan rahmatMu. Tolong bebaskan aku dari belenggu ketakutan agar aku dapat berjalan damai dalam panduanMu. Anugerahkan pendengaranku agar telingaku peka menengarai kebijakan yang luhung. Biarkan aku bebas melangkah dalam perjalanan hidup di bawah naungan cintaMu. Kurindukan kepolosan kanak-kanakku yang dulu, sebab aku bagian dari Maha CahayaMu, yang sejatinya adalah kesejatianku.

Ijinkan aku berjalan dalam kesadaran atas keberadaanMu hari ini, wahai sang Maha Suci. Sebab senantiasa ketakutan yang datang dan mencerabutku dari ketenteraman cintaMu yang tak berjeda. Ketakutan yang memisahkanku dariMu. Hari ini, akan kucoba memberikan cinta dalam pikiran, kata dan laku atas namaMu, ya Allah. Aku akan berusaha menghilangkan ketakutan yang senantiasa mengekorku serupa bayang-bayang. Hanya kesucianMu yang akan membebaskanku dari rasa takut itu. Dengan namaMu, aku melangkah hari ini...

Amin...

Wednesday, September 03, 2008

DAN BEGITULAH...

aku tak pernah bisa membuat puisi. selalu kurang indah. sebab aku tak punya banyak kosakata. diksiku selalu basi. kalimatnya klise dan membosankan. nyatanya,aku memang tak pernah hendak membuat puisi. aku hanya mau berkisah tentang hati yang bungah atau gundah. cuma ingin bercerita tentang pelangi sore hari atau rembulan yang kesepian.

aku tak pernah bisa membuat puisi. selalu kurang indah. sebab aku tak punya banyak kosakata. diksiku selalu basi. kalimatnya klise dan membosankan. nyatanya aku memang tak pernah hendak membuat puisi. aku hanya mau berkisah tentang rasa yang mekar atau pudar. cuma ingin bercerita tentang jngga senja atau malam yang sendirian.

aku tak pernah bisa membuat puisi. selalu kurang indah. sebab aku tak punya banyak kosakata. diksiku selalu basi. kalimatnya klise dan membosankan. nyatanya, aku memang tak pernah hendak membuat puisi. aku hanya mau berkisah tentang kasih yang mampir atau melipir. cuma ingin bercerita tentang mentari yang pergi atau pagi yang tak akan datang lagi.

Monday, September 01, 2008

dan udara itu kian menipis. oksigen yang selama ini menghidupiku mulai habis. bukan habis, tapi diusir oleh takdir. aku berangkat sekarat. napasku makin pendek dan berat. udara itu, yang selama ini menyambung napasku terpaksa pergi. sebab ia dikepung api.