Saturday, March 01, 2008

KERAGUANKU BEBERAPA BULAN LALU DAN MASIH HINGGA KINI

Pengantar : (hehehe...kayak laporan di koran aja! :p)
Seringkali kepala kita dipenuhi pikiran-pikiran mengganggu yang selalu mempertanyakan apa yang kita yakini. Konteksnya bisa macam-macam. Nggak pentinglah disebut satu-satu. Nah, beberapa bulan ini, aku terus meragukan keyakinanku yang ini : bahwa jiwa manusia diciptakan sepasang dan tiap jiwa punya belahannya yang entah di mana berada. Tapi banyak sekali hal yang membuatku harus meragukan keyakinan itu. Kesalahan pilihan, ketidakmungkinan keadaan dan sejuta alasan lainnya, selalu saja jadi penghalang jiwa kita bertemu belahannya. Seorang teman pernah bilang, kalau sebaiknya kita tidak mematok satu jiwa sebagai belahan jiwa. Maksudnya, jangan pernah mengikatkan emosi pada seorang saja sebab kemungkinan salah atau ketidak mungkinan benar sangat besar. Tapi aku ngeyel dan tetap percaya bahwa jiwa hanya dibuat sepasang oleh Sang Penyayang, walaupun ada Perang Dunia ke - 224 terjadi di kepalaku tiap kali meyakini itu. Iya dan tidak berseliweran seperti lalu lalang bajaj yang berisik plus tak pernah punya sopan santun di mana hal itu diperburuk lagi oleh takdir bahwa hanya supirnya dan Tuhan yang tahu kapan si bajaj mau menyalip atau berbelok. Tak pelak, penuh dan macetlah kepalaku seperti jalanan Jakarta kala banjir bandang menghadang. Bedanya, kepalaku tidak berisi air (amit-amit jabang bayi...kalo kepala penuh berisi air kan namanya hydrocephallus toh??? Maap, maap....) tapi macet gara-gara pikiran antara 'punya belahan jiwa dan tidak punya belahan jiwa' (hahaha, gak penting amat yak polemikku!). Bayangkan, betapa ribetnya hidupku dengan segala pikiran itu! (Hehehe...ya salah sendiri! NGapain juga dipikirin... :p) Maka, tiap kali merasa sendiri dan merasa tak punya belahan jiwa, kepalaku coba membangun asumsi yang akan mengamini keyakinan bahwa belahan jiwa memang tak ada. Nah, berikut ini adalah hasil pergolakan batin, pertempuran benak yang diiringi kebocoran tanggul air mataku, di sebuah malam sepi saat aku benar-benar merasa sendiri....( hihihi...apa seeeehhhhh....???!!! &)*&^*$%^#@%$@_()_(&&*%$#$#!@@#!&** :D )

MUNGKIN BELAHAN JIWA TAK PERNAH ADA

Pergolakan batin barangkali adalah sahabatku beberapa bulan terakhir ini. Hidupku berjalan dari pergolakan batin yang satu ke pergolakan batin lainnya. Peta hidupku beberapa bulan belakangan adalah jejak batin satu ke jejak batin berikut. Semua berjalan runtut namun sangat fluktuatif. Keterkejutan satu tak selalu diikuti dengan keterkejutan lainnya. Kadang sangat terjal, curam namun bisa juga sangat landai atau bahkan datar.

Hidup memang nyaris diciptakan Tuhan tanpa kerangka. Ia bagai benang kusut yang saling melilit. Kadang ada untaian yang demikian panjang tanpa ikatan, tanpa simpul penghadang. Tapi acap juga di satu ujungnya ada belitan yang demikian rumit hingga tarikan satu simpul membuatnya makin ketat mengikat. Entah simpul macam apa yang mengikat hidupku hingga ikatannya membuat sulit bernapas. Hingga jeratnya berkali-kali membuat hatiku bergolak, seperti sepanci sup diatas jerang api elpiji.

Lalu aku memutuskan menulis. Seorang sahabat bilang, dalam keadaan tertekan, seseorang biasanya punya alasan untuk menajamkan intuisi dan punya kemampuan dua kali lipat untuk menyalurkan energi ke otak untuk berpikir. Pikirku, mungkin saja dia benar. Maka aku mulai menulis dengan kalimat yang bahkan tak sempat kupikirkan. Aku menulis seperti kerasukan kata-kata. Aku bahkan tak punya kerangka tulisan. Persis seperti Tuhan mengarang nasib jutaan orang. Tanpa kerangka, tapi herannya selalu dianggap bermakna.

Aku mungkin menulis untuk mengetahui, makna apa yang tersembunyi di balik semua pergolakan batin yang kualami. Masak iya dari sekian banyak pergolakan batin, tak ada satu pun yang bermakna buatku? Bagaimana bisa aku tak mampu menemukan satu arti dari sejuta tanda yang mampir dalam hidupku? Begitu pertanyaanku, pada diriku sendiri. Dan nyatanya, sampai ke alinea ke sekian, aku masih saja belum menemukan makna apapun dari ratusan kata yang telah kutulis.

Tapi tampaknya aku memang kerasukan kata-kata, hingga tak mampu mencerna atau bahkan sekadar menyadarinya. Semua kata berlompatan seperti kecambah bermunculan dari biji-biji kacang hijau. Begitu sederhana, begitu ringan dan tak bermakna. Sejuta kata-kata, seperti tak mampu menggenapkan satu ons makna. Kepalaku mulai panas. Tuntutan untuk segera memahami makna tersembunyi, membuat alarm di kepalaku berbunyi ratusan kali. Bising dan membuatku makin terbakar. Aku memang bukan siapa-siapa. Pergolakan batinku sungguh tak bermakna. Ia tak lebih dari ceracau igau yang menggangguku siang malam. Tak mau diam. Batinku bergolak untuk sebuah alasan tak pasti yang sama sekali tak terbukti.

Benarkah tak berbukti? Buktinya, selalu ada bukti di kemudian hari yang membuat golakan batinku terbukti nyata adanya. Intuisi selalu menuntunku pada sebuah bukti atas golakan batin yang kerap kurasakan. Aku seperti merasakan setiap pertanda bahaya yang ditujukan padaku. Kegelisahanku seringkali disebabkan oleh sekadar intuisi. Atau aku tak boleh bermain-main dengan pikiranku, yang menurut seorang sahabat memiliki kekuatan amat dahsyat? Katanya, pikiranku adalah senjata pamungkas yang dapat membunuh siapapun yang ingin membunuhku.

Aku sendiri tak percaya aku akan tega membunuh. Sebab aku sangat mengagungkan cinta. Aku cuma tahu mencinta. Cintaku hampir selalu utuh, ketika aku menginginkan memberikannya. Namun tak semua mau menerima keutuhan. Semua selalu hanya ingin sebagian. Sebab keutuhan seringkali juga berarti menerima keburukan. Dan cinta utuhku bagi yang menerimanya kerapkali berarti gelembung udara yang kian lama makin menyesakkan. Aku tak ingin memberi separuh, dan sayangnya, kerapkali aku hanya diberi separuh. Atau memang tak ada yang utuh dan setiap orang hanya punya separuh? Bagaimana jika yang separuh itupun masih harus kuterima dengan tidak utuh? Adilkah? Mungkin orang akan selalu menyelamatkan diri dan berlindung di balik kalimat, “Adil saja...Tergantung dari sisi mana kau melihatnya!” Mungkin kalimat itu ada benarnya. Tapi apa benar?

Benakku mulai diam, karena kata-kata telah menjelma rangkaian huruf di layar komputer. Batinku mulai hening dan kepalaku tak terlalu pening lagi seperti saat aku menuliskan kalimat pertama. Tapi kegundahan masih saja berseliweran memenuhi rongga-rongga tubuhku. Mereka seperti lebah yang setia berdengung. Kadang tenang untuk kemudian riuh ketika ada sesuatu mengusikknya. Dan aku, menurutku adalah orang yang mudah terusik. Aku terusik oleh banyak sekali hal dan kekhawatiran.

Kegelisahan adalah sahabat setia yang rela berjam-jam menemaniku. Barangkali kau akan bilang, “Merana sekali hidupmu.” Ya, aku memang merana. Tapi menjadi orang yang tak memiliki rasa menurutku jauh lebih merana. Menjadi orang yang tak peka membaca suasana menurutku adalah orang yang patut dikasihani. Orang yang menganggap semua berjalan baik dan tak terganggu dengan perasaan orang terdekatnya juga adalah orang yang patut dikasihani. Terlebih lagi orang yang tertawa dan gembira melihat orang lain menjadi gelisah. Menurutku mereka sakit jiwa. Atau aku yang sakit jiwa? Bisa saja!

Mungkin aku memang sakit jiwa. Ya...mungkin. Sangat mungkin! Orang yang dengan mudah mengatakan orang lain sakit jiwa, memang sangat mungkin adalah orang gila. Dan aku yakin, banyak sekali orang yang mencapku gila. Karena memang aku mungkin sudah gila. Aku sendiri kurang tahu pasti apa definisi atau indikasi hingga seseorang disebut gila. Belahan jiwaku sering bilang, “Tak semua hal di dunia ini perlu dan harus punya definisi. Terlebih jika hanya kau yang senang bermain-main dengan segala definisi.” Jadi, buat apa aku pusing-pusing mencari definisi atau indikasi kenapa orang mencapku sakit jiwa. Terima saja cap gila atau sakit jiwa itu.

Biarkan segalanya mengalir dan biarkan aku berenang bersama kegilaanku. Kegilaan hidup dalam bayangan memiliki seorang belahan jiwa yang nyatanya tak pernah ada. Belahan jiwa yang tak akan mungkin ada. Kesibukan bercengkerama dengan kebetulan-kebetulan sialan yang terus menghantuiku hingga jadi gila seperti ini. Bayangkan, bagaimana mungkin kebetulan angka-angka yang sama kuanggap sebagai pertanda kalau belahan jiwa itu memang ada? Nyatanya belahan jiwa tak pernah ada! Aku hidup untuk diriku sendiri. Belahan jiwakupun hidup untuk dirinya sendiri. Persetan dengan segala kebetulan yang selama ini kuyakini sebagai pertanda alam yang menuntunku pada belahan jiwa sejati.

Mungkin belahan jiwaku benar. Biarkan ini semua berjalan tanpa arahan, tanpa kehendak. Biarkan semua mengalir mengikuti alur takdir yang mungkin akan membawaku pada pembenaran bahwa belahan jiwa memang tak pernah ada. Sebab diriku adalah belahan jiwaku. Dan belahan jiwaku adalah belahan jiwanya sendiri. Barangkali kami memang sudah utuh sehingga tak perlu dibuat utuh. Mungkin saja apa yang kami kira separuh adalah bagian yang paling utuh. Baiklah... Mungkin memang sudah saatnya aku berhenti mencari belahan jiwaku. Barangkali telah sampai waktu, aku harus menerima keseparuhanku sebagai sesuatu yang utuh!