Tuesday, August 19, 2008

AKU, SANG PESIMIS FATALIS

Harusnya hidup adalah kesimbangan. Pejalan sepertiku selalu mencari itu. Walau artinya aku tak selalu ada dalam bahagia. Hidup kerap kali justru timpang menimangku. Terlalu banyak sedih menyambangiku. Tapi kuterima hidup tetap sebagai keseimbangan meski ada orang lain yang memilih hanya menerima bahagia. Aku bertanya, apa bisa? Mungkin bisa. Mungkin aku memang sang pesimis yang fatalis. Tapi bukankah hidup pula sebuah kefatalan? Guru yang memberi ujian di muka sebelum pelajaran? Neraca yang kerap berat sebelah walau aku membantahnya sebagai sebuah ketidak adilan. Aku berpikir, sekaligus merasa. Meski keduanya adalah dua kutub berbeda. Itu sebabnya, aku acap melihat kelabu. Bukankah hidup memang abu-abu? Tak ada putih sempurna seperti tak ada hitam yang senantiasa kelam. Keduanya padu, menciptakan palet warnanya sendiri. Dan begitulah hidup. Ia tak pernah mau timpang meski kerap memberi banyak hal yang tak seimbang. Mungkin aku sang pesimis yang fatalis. Tapi bukankah hidup memang sebuah kefatalan yang terjadi bersamaan dengan saat kita dilahirkan? Meninabobokanku dengan kebingungan yang kerap terabaikan. Aku diasuh oleh hidup yang fatal, disusui kegamangan yang sulit kuterjemahkan. Dengan itu aku tumbuh, berusaha jadi pesimis yang kuat.

Makin besar aku makin pandai berdandan, menutupi jiwa yang rapuh dengan gincu dan sorot mata ragu dengan bulu mata palsu. Sebab aku harus terlihat optimis di tengah orang-orang sekelilingku. Mereka tak suka keseimbangan. Sebab mereka hanya mau bahagia saja. Padahal, keseimbangan buatku adalah juga kedukaan. Maka aku harus timpang agar terlihat seimbang. Menjadi bahagia senantiasa adalah hal yang sebenarnya agak mustahil kupenuhi sebab luka membuatku lengkap. Seharusnya mereka pun begitu. Tapi ternyata tidak. Mereka cuma mau bahagia. Mereka memilih timpang ketimbang seimbang. Berpura-pura bahagia dalam lakon yang menyiksa. Tertawa untuk menutupi duka sementara aku senantiasa menangis kala luka. Aku letih harus berpura-pura bahagia. Aku sulit memaksa bibirku tertawa saat mataku sedang sangat ingin menangis. Salahkah aku menjadi seperti ini? Sungguh, aku letih dengan segala kepura-puraan ini. Aku bosan harus berdandan tebal untuk menutupi kegamangan. Aku tak ingin lagi bermimpi tentang hidup yang timpang. Sebab hidup adalah keseimbangan yang juga berarti duka dan nyatanya, aku adalah sang pesimis yang juga fatalis. Haruskah aku menolaknya?