Saturday, June 14, 2008

GENG NERO

Tayangan itu begitu menggangguku. Berita di sebuah stasiun televisi yang berisi kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok remaja perempuan di Pati. Geng Nero. Begitu mereka menamai kelompoknya. Rekaman dari handphone yang diputar ulang dalam berita itu memperlihatkan adegan saat geng itu menampar, menonjok dan membentak seorang perempuan lain secara bergantian begitu menggangguku. Begitu mengganggu, karena aku seperti melihat kejahatan 'gaya sinetron' yang sangat tipikal. Tingkah sengak para pemain antagonis yang selalu membuatku bergidik dan berpikir, 'apa iya semua orang begitu jahat, bahkan dari anak Sekolah Dasar sekalipun?'. Pertanyaan yang selalu pasti diliputi ketakutan karena aku punya dua anak yang sedang bertumbuh dan tak bisa senantiasa kutemani.

Aku benci sinetron -kecuali pada sinetron-sinetron Deddy Mizwar yang masih punya moral dan sangat manusiawi-. Sayangnya, kedua anakku justru penonton tayangan itu. Mereka selalu mencuri kesempatan untuk menonton sinetro saat aku di kantor. Keberadaan Geng Nero makin menusuk jantungku. Kenyataan bahwa konflik gaya sinetron itu diterapkan dalam keseharian sebenarnya sudah bisa kutangkap lewat cerita-cerita sulungku tentang hari-hari di sekolahnya. Intrik yang begitu tajam rupanya sudah terjadi di kelasnya yang baru mencapai angka lima sekolah dasar. Kadang dia cerita tentang temannya yang culas, atau lain kali dia cerita tentang kesebalan yang begitu dalam pada temannya dan...juga cerita kalau di kelas serta sekolahnya pun ada geng.

Persaingan ala rimba mungkin juga dilakukan oleh geng-geng anak bau kencur itu. Melihat berita Geng Nero, hatiku makin ciut. Bagaimana kalau ternyata anakku salah satu anggota geng yang mungkin saja menjadi korban atau pelakuk kekerasan pada temannya yang lain. Entah bagaimana memahami kondisi ini. Aku ngeri. Pertanyaannya kemudian, pada siapa aku bisa bicara? Pada siapa saku bisa menyampaikan ketakutan ini? Siapa yang bertanggung jawab atas munculnya Geng Nero dan kejahatan gaya sinetron itu? Orang tua seperti aku tentu sangat bertanggung jawab memberi pemahaman pada anak-anak. Tapi seberapa besar kekuatanku menahan terpaan efek negatif sinetron yang demikian dahsyat yang memasuki ruang televisi rumahku sementara aku berada di kantor? Seberapa sanggup aku menghalau imaji-imaji hukum rimba yang terekam dalam memori lugu anak-anakku?

Aku berusaha membuat pesona buku sebagai tandingan televisi supaya anak-anakku mengabaikan sinetron-sinetron sialan itu. Nyatanya, meski mereka juga mencintai buku, anak-anakku tetap tak bisa dengan mudah diceraikan televisi dan tayangan penuh tipuan dan pembodohan itu. Geng Nero makin menguatkan asumsiku bahwa tokoh-tokoh antagonis dalam sinetron sudah digambarkan secara berlebihan. Karakter antagonis tak lagi berada di ambang batas kemanusiaan. Psikopat! Itu istilah yang tepat bagi karakter antagonis dalam sinetron-sinetron kita. Tak ada lagi tanggung jawab baik dari penulis naskah cerita, sutradara, produser, stasiun televisi bahkan menteri kominfo atas efek negatif yang sangat mungkin diserap oleh anak-anak. Sekali lagi, sayangnya, memang tak ada yang peduli pada masa depan bangsa ini. Semua berpusar pada kuasa uang. Persetan berapa banyak Geng Nero muncul di seluruh Indonesia. Yang penting bagaimana membuat penonton menyimak tayangan dan tak penting berapa banyak ibu seperti aku yang ketakutan dengan kejatahan gaya sinetron itu.

Jadi pada siapa aku bisa mengutarakan kekatukanku itu?