Monday, February 20, 2006

KENAPA NARCIS?

Seseorang melontarkan pertanyaan itu padaku, ketika aku memintanya mengomentari tulisan di blog ini.Sepertinya, pertanyan ini memang harus dijawab, sebab sesuatu memang selalu harus punya alasan. Jadi, kenapa narcis?

Begini, nama maminarcis aku dapatkan tanpa sengaja, ketika aku sedang mengganti gambar di desktop komputerku di kantor dengan foto anakku. Tapi karena terbiasa memampangkan fotoku sendiri, aku jadi merasa aneh dengan perubahan itu. Begitu juga teman-temanku seruangan. Dan aku nyeletuk, "Aneh ya ngeliat gambar ini. Apa karena gue kebiasaan liat tampang sendiri di komputer ya?" ujarku pada mereka. Lalu spontan, aku bilang, "Dasar ya, emang gue mami narcis....!" Dan spontan pula, ide untuk membuat blog dengan nama itu membersit di benakku dan mendapat dukungan teman-teman saat aku mengatakan rencana itu. Jadi pilihan nama ini sebenarnya lebih didasarkan pada 'kelucuan' nama saja. Biar orang mudah mengingat namanya. Sebab, kata orang, langkah pertama menamai blog adalah pada pilihan kata. Makin nyeleneh, makin bikin penasaran.

Cukup alasannku? Hmmm...cetek banget ya?

Ok, setelah aku pikir lebih lanjut, ternyata ada alasan lain yang 'lebih mikir' dan lebih dalam ketimbang alasan iseng belaka. Aku pernah baca sebuah artikel tentang asal muasal istilah narcis di sebuah surat kabar. Konon, adalah seorang pria tampan bernama narcissus yang sangat tampan. Begitu tampannya, samapi ia jatuh cinta pada wajahnya sendiri hingga ia merasa tak ada wanita yang cukup pantas untuk jadi pendampingnya. Maka, kemudian, orang yang begitu bangga pada diri sendiri di sebut narcis dan istilah narcis ini, kendati sudah ada sejak ratusan tahun, tampaknya makin populer akhir-akhir ini. Mungkin karena makin tingginya tingkat kepercayaan diri masyaraakat dan semuanya ingin tampil. Narcis juga seperti terstigma jadi istilah yang punya konotasi negatif, seperti pemujaan seseorang yang terlalu tinggi terhadap dirinya sampai-sampai tak ada orang lain yang cukup sempurna untuk dibandingkan dengannya.

Well, kalau merujuk pada sejarah, memang kata narcis punya konotasi sangat negatif, karena Narcissus dengan tega membiarkan banyak wanita mati berdiri karena mencintainya. Tapi aku mencoba melihatnya dari sudut yang lebih jernih, karena sesuatu selalu punya dua kutub yang berseberangan. Aku pikir, kalau narcis punya makna negatif, tentu ia juga punya makna positif. Tergantung cara kita memandangnya.

Menurutku, narcis --pada taraf mencintai diri sendiri dan bukan memujanya-- adalah hal yang perlu dimiliki tiap manusia. Sebab, tanpa mencintai diri sendiri, apakah seseorang akan mampu memberi cintanya pada orang lain? Aku punya analogi yang mungkin bisa menguatkan pendapat ini. Saat kita naik pesawat, sesaat sebelum tinggal landas, pramugari biasanya memeragakan cara penyelamatan dalam kondisi bahaya --ngaku saja, kita semua pasti suka melihat tangan lentik para pramugari saat peragaan ini--. Nah, di setiap kondisi, aku selalu mendengar penekan untuk penumpang yang membawa anak kecil. "Kenakan alat keselamatan Anda terlebih dulu, sebelum menolong anak-anak." See...Tolong diri sendiri dulu, maka Anda akan bisa membantu orang lain. Itu poinnya.

Begitupun dalam urusan cinta. Cintai dulu diri sendiri, baru Anda bisa mencintai orang lain. Hargai dulu diri sendiri, maka orang lain juga akan menghargai Anda. Apa mungkin kita mencintai anak-anak, kalau kita saja tidak mencintai diri sendiri, lalu bunuh diri karena merasa tak ada yang mencintai kita? Apa mungkin suami menghargai kita kalau bahkan untuk berdandanpun kita malas? Jangan salah loh, berdandan itu salah satu bentuk penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain. Hubungan timbal balik itu yang selalu mencuat dari taip kaedaan. Sering aku bertanya daalam hati, apa aku sudah cukup mencintai diri sendiri? Kadang-kadang, kalau kerjaan sedang menumpuk dan aku harus pulang malam, aku sering bicara pada diri sendiri, "Tubuh, maafkan aku yang mempekerjakanmu melebihi kapasitas. Aku janji, kalau pekerjaanku sudah selelsai, aku beri kamu istirahat yang cukup."

Tak cuma pada tubuh, akupun sering meminta maaf pada anak-anakku, kalau suatu kali, aku belum bisa memberi apa yang mereka minta. Misalnya saja si kakak minta dibelikan sepeda dan si adek minta di belikan robot. Dalam diam, disaat menekuri wajah-wajah polos mereka, aku selalu bilang, "Sayang mami, maaf ya, mami belum bisa ngasih kalian mainan itu. Nanti kalau ada rejeki, kita beli ya..." Mencintai memang tak selalu berarti memberikan apa yang tak sanggup kita berikan. Kita tak boleh memaksa diri, apalagi sampai nekat jadi pencuri. Tapi janji bahwa akan ada kesempatan untuk mewujudkannya, aku pikir adalah cara cinta mengatasi keterbatasannya. Janji akan membuat kita berupaya memenuhinya, setelah sebelumnya memberi jeda, memberi waktu memikirkannya dengan rasio. yang penting niatnya. Kan katanya, niat itu setengah dari perbuatan? Itu cuma contoh yang aku tidak tau, apakah cukup signifikan dengan maksud yang ingin aaku sampaikan. Mungkin agak melantur, tapi ya....itu yang terpikir saat aku menulis. Jadi, itulah alasan, kenapa aku memilih narcis. Jadi orang narcis tidak menentang Tuhan kan? Boleh jadi Tuhan malah sayang pada orang narcis, karena dia pandai merawat apa yang Tuhan karuniakan untuknya.

(Jawaban untuk Mas AR...Thanks commentnya.....)

Saturday, February 18, 2006

KUPU-KUPUMU

Pelangi di kaki langit
adalah lintasan mimpi
yang mengantarkanku padamu

Kita bertemu di ujung cakrawala
di mana hanya ada bahagia, dan
eloknya kupu-kupu bersayap biru

(buat seseorang yang memberiku foto kupu-kupu bersayap biru)

Monday, February 06, 2006

kosong...
pernahkah merasa diri dan hari begitu kosong,
tanpa tau apa yang mau dilakukan?
Semua bergerak, berjalan tanpa arah,
tanpa tau apa alasan melakukan itu?
seperti film bisu

kosong...
entah untuk apa!

Thursday, February 02, 2006

TENTANG KEMARIN

Ada hari, tatkala waktu seakan terhenti. Dunia menyempit, menarik diri dalam labirin masa silam. Pada detik ketika janin meluncur dari rahim bunda yang hangat, melewati liang sempit, menjemput silau cahaya beraneka. Cahaya yang indah sekaligus mengerikan. Spektrum warna yang terlalu ambigu untuk dipercaya, karena ada lebih dari dasamuka di sinarnya.

Lalu hangatnya rahim perlahan mulai terganti. Dingin menyeruak, mengerutkan kulit untuk sesaat kemudian berubah lagi jadi hangat bungkusan selimut dan dekapan bunda. Dunia penuh warna terasa lebih bersahabat. Janin itu tumbuh di luar rahim, dengan segala keindahan kenangan, sejuta kehangatan dan berliter-liter siraman kasih sayang. Jadi kanak-kanak dengan curahan cinta sepenuhnya, sangat sempurna untuk dirasakan sebagai kekurangan. Janin yang telah kanak itu bahkan tak sempat menyesali keterbatasan ayah-bunda memenuhi materi, karena dadanya telah dibuncah cinta tak berjeda. Ia tak pernah merasa ayahnya miskin meskipun tak pernah berhasil membeli rumah berhalaman luas dengan kolam renang di belakangnya, karena di rumah sempit pun, dekapan dan elusan tangan ayah dikepalanya selalu jadi berkah terindah. Ia tak sempat menyesali keterbatasan bunda yang tak pernah sanggup membelikan mainan mahal, karena ternyata boneka kain buatan tangannya jauh lebih cantik dan bersahabat. Semuanya serba memesona.Warna dunia kanak begitu membuai, meninggalkan kenangan yang bahkan dapat dihadirkan kembali setelah belasan bahkan puluhan tahun.

Masa kanak tak selamanya. Karena usia lalu menetaskan janin jadi remaja. Dunia jadi tak lagi terlalu bersahabat, karena kehidupan mulai menunjukkan wajah aslinya. Janin itu harus belajar bertahan, dan keluar dari sarang kenyamanan. Cinta mulai membuatnya kecewa, persaingan mulai mengisi harinya dan keinginan untuk terlihat mulai menghatuinya. Ayah tak lagi cukup hebat untuk dikagumi, karena pakaiannya yang old fashion. Bunda berubah jadi terompet paling bising. Dunia berubah. Langit dan semesta terbelah dua. Rumah lalu jadi penjara. Persahabatan pun jadi agama baru yang punya kebenaran mutlak. Jihad adalah ketika bisa saling mendukung, untuk kesalahan sekalipun. Membenarkan semua anjuran kawan, walaupun itu artinya harus menikam hati bunda hingga berdarah dan membuat bola mata ayah nyaris melompat ke piring nasinya. Kebenaran adalah aku dan kawan-kawanku.

Lalu masa membawa janin jadi remaja dewasa yang lebih tenang, arif dan tahu tepa salira. Gejolak dalam darah tak lagi menggolak, sudah mulai menghangat dan mengendap. Tapi dunia adalah sekolah yang setiap hari adalah ujian keyakinan. Ribuan pencapaian dari jutaan kegagalan. Guru yang kejam karena memberi ujian sebelum pelajaran. Janin itu harus memamah kesalahan untuk kemudian menelisiki muntahannya, mencari butir-butir makna. Sekalidua ia menemukan intan, tapi selebihnya hanya batu, kerikil atau bahkan pasir. Tapi hidup terus berjalan, semesta tetap berputar. Sebab, rumah tak berdinding intan. Bukankah batu,kerikil dan pasir yang membuat kokoh sebuah menara? Menara di mana janin itu bisa melihat dunia dari sudut berbeda. Bersentuhan lebih dalam dengan nafas alam, meneropong bintang harapan dan menyaksikan pangerannya berkuda di kejauhan. Masa muda yang tak sempat lama dienyam, karena sang pangeran keburu datang, menjemput dan memenjarakannya dalam sebuah gua bernama cinta. Di mana janin itu harus memelihara janin di rahimnya. Mengunyah asa dan menelannya kembali dalam diam. Keyakinan yang salah atas cinta adalah fatamorgana yang hilang kala dijelang. Kenaifan yang telanjang adalah pisau bermata dua yang menusuk ketika tak pandai dimainkan. Tebusan yang teramat mahal untuk sebuah mimpi yang hilang.

Janin itu lalu melahirkan satu, dua janin dari rahimnya. Menyediakan kehangatan yang setara dengan kehangatan bunda untuknya. Mengupayakan keterbatasannya menjadi tak terbatas agar dua janin tercinta bisa membanggakan bundanya. Melawan kebekuan hati agar tetap bisa jadi sarang hangat untuk dua janinnya. Menopangkan kekuatan hanya pada alam untuk bertahan jadi tumpuan mereka. Lalu di mana pangeran? Dia ada, asyik dengan mainannya. Tetap mencinta meskipun tak lagi sempurna. Ketakutan janin yang sudah punya dua janin itu menjelma jadi mimpi buruk yang membuatnya setengah gila. Tapi ia sama sekali tak menyesali takdir, seperti ia tak menyesali bunda yang tak diberi waktu lama untuk menemaninya. Ia gantungkan nyawanya pada semesta, pada genggaman tangan nasib. Perlawanan adalah hal paling menyakitkan sepanjang usia. Maka iapun menyerah di titik kematian sukma. Menyerah bukan untuk menjadi pecundang, melainkan untuk memenangkan piala kearifan. Ia tak lagi membenturkan tubuh ke dinding kenyataan yang hanya membuatnya terluka, tapi mengambil pahat dan palu. Mengukir mimpi, membuat relief alam bawah sadar tertera di monumen jiwanya. Membaca isyarat adalah katarsis buatnya. Bersabar, menyimak keheningan membuat ia bisa melihat bubuk nyeri mengendap dalam gelas kopi buatan Tuhan. Memberi rasa yang lebih sempurna,membuatnya lebih peka menghirup aroma cinta tanpa membuka mata.

Dua puluh lima, duapuluh enam, dua puluh tujuh, dua puluh delapan adalah angka paling menyebalkan dalam hidupya. Angkasanya muram, semestanya mengelam menyisakan sedikit sekali bahagia. Duka yang dipupuk kecewa, disirami airmata yang entah kenapa tak juga kering kendati tiap hari dikuras berkendi-kendi. Kecewa dan airmata yang akhirnya mau berdamai dan tak lagi menyakitkan. Ia lalu bersahabat dengan rasa perih, menikmatinya sebagai berkah yang juga patut disyukuri. Ia andaikan dirinya adalah besi yang tengah ditempa untuk mencapai bentuk yang lebih manis dan fungsi lebih bermanfaat. Hanya penyerahan diri pada kuasa sang pandai besi yang mampu membuatnya tegar menerima pukulan yang paling keras. Hingga di sebuah titik, ia bahkan bisa bersorak girang saat palu memukuli batinnya, jiwanya. Tubuhnya mati rasa.

Lalu, ia merasa puluhan tahunnya tak lagi sia-sia. Hidupnya penuh warna, kadang terang, kelabu dan sesekali jadi gelap,pekat lalu kembali berwarna. Adakah yang perlu disesali ketika langit menghitam dan tak menyisakan bias jingga ketika keyakinan bahwa mentari akan muncul lagi esok pagi terserap oleh seluruh pori? Adakah yang pantas ditangisi ketika menyadari bahwa pedih perih begitu nisbi? Bahwa suka,bahagia bersekongkol dengan duka, nestapa, mengerjai dan membodohinya dengan tipuan hipnosa? Tak ada lagi galau, gundah gulana tatkala cinta bermetamorfosa, keluar dari kepompong kenaifan dengan sayap cantik berwarnawarni, hiasi auranya. Janin itu terlahir kembali. Ia tak mendapat kitab baru dari khaliknya. Ia hanya membalik lembar yang sempat hanya berisi amarah, dengan halaman baru yang masih kosong. Memulai bab baru, menulisi kertas dengan goresan pena yang lebih baik, gerakan tangan yang lebih hati-hati agar tak banyak kesalahan yang membuatnya harus menyoret tulisan.

Tigapuluh tahun adalah awal,ketika janin yang kini telah punya dua janin yang harus ia susui dengan kasih sayang mulai belajar berjalan menapaki kehidupan. Menyelami kedalaman untuk menemukan harta karun kearifan.

(Catatan tentang kemarin, 1 Februari 2006)